Kamis, 22 Oktober 2015

Kisah Murid Buddha

Kisah Maha Moggallana Thera

Suatu saat petapa Nigantaha merencanakan untuk membunuh Maha Moggallana Thera dengan tujuan akan menghilangkan kemashuran dan keberuntungan Sang Buddha. Mereka menyewa para perampok untuk membunuh Maha Moggallana yang kala itu berdiam di Kalasila dekat Rajagaha.
Perampok itu mengepung vihara tempat Maha Moggallana Thera berdiam, tetapi Maha Moggallana dengan kemampuan batin luar biasanya dapat menghilang, sehingga mereka tidak dapat menangkap Maha Moggallana dalam waktu dua bulan.
Ketika para perampok kembali mengepung vihara pada bulan ketiga, Maha Moggallana Thera mengetahui bahwa ia harus menerima akibat perbuatan (kamma) jahat yang dilakukannya pada salah satu kehidupan lampaunya, maka beliau tidak menggunakan kelebihan batinnya, sehingga para perampok berhasil menangkap dan menganiayanya dengan kejam. Setelah itu tubuhnya dibuang ke semak-semak, karena dianggap telah menjadi mayat.
Dengan kekuatan batin/jhananya, Maha Moggallana dapat bangkit kembali dan pergi menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Tetapi Maha Moggallana juga menyadari akibat dari penganiayaan yang dideritanya, beliau tidak akan dapat hidup lebih lama lagi. Maka beliau memberitahu Sang Buddha bahwa beliau akan segera meninggal dunia (parinibbana) di Kalasila.
Sang Buddha kemudian menganjurkan agar beliau membabarkan Dhamma terlebih dahulu sebelum parinibbana. Maha Moggallana membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, setelah itu bersujud (namaskara) kepada Sang Buddha sebanyak tujuh kali.
Berita wafatnya Maha Moggallana Thera di tangan para perampok menyebar bagaikan kobaran api. Raja Ajatasattu menyuruh orang-orangnya agar menyelidiki hal ini, mereka berhasil menangkap para perampok dan menghukum mati dengan cara membakarnya.
Para bhikkhu mendengar wafatnya Maha Moggallana Thera sangat sedih dan tidak mengerti mengapa orang seperti beliau meninggal dunia di tangan para perampok.
Kepada mereka Sang Buddha kemudian mengatakan, “Para bhikkhu pada kehidupan saat ini beliau hidup dengan kemuliaan sehingga beliau tidak akan mengalami kematian lagi. Akan tetapi pada kehidupan yang lampau ia telah melakukan kejahatan besar terhadap kedua orang tuanya yang buta kedua-duanya. Pada awalnya beliau adalah seorang anak berbakti, tetapi setelah ia menikah, istrinya membuat permasalahan, istrinya mendorong agar ia berpisah dengan orang tuanya. Kemudian ia membawa kedua orang tuanya yang buta pergi ke hutan dengan pedati, di sana kedua orang tuanya dibunuh dengan cara dipukul. Sebelumnya, dengan tipu muslihat ia meyakinkan kedua orang tuanya, seolah-olah mereka akan dibunuh oleh penjahat. Untuk perbuatan jahat yang dilakukannya ini, ia telah menderita di alam neraka untuk waktu lama, dan pada kehidupan saat ini beliau harus mengalami kematian di tangan perampok. Tentunya dengan melakukan perbuatan jahat terhadap mereka yang tidak jahat, seseorang pasti akan menderita karenanya.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan :
Seseorang yang menghukum mereka yang tidak patut dihukum dan tidak bersalah,
akan segera memperoleh salah satu di antara sepuluh keadaan berikut:
Ia akan mengalami penderitaan hebat, kecelakaan, luka berat, sakit berat, atau bahkan hilang ingatan.
Atau ditindak oleh raja,
atau mendapat tuduhan yang berat,
atau kehilangan sanak saudara,
atau harta kekayaannya habis.
Atau rumahnya musnah terbakar,
dan setelah tubuhnya hancur,
orang bodoh ini akan terlahir kembali di alam neraka.

Cerita Buddhis


 Kura-Kura Yang Cerewet


 Suatu ketika, Di sebuah danau, hidup seekor kura-kura yang Cerewet. Siapapun yang ditemuinya akan diajak bicara banyak, panjang lebar, tanpa jeda, dan sering membuat pendengarnya bosan, terganggu, hingga akhirnya jengkel. Mereka sering merasa heran bagaimana si kura-kura bisa bicara terus-menerus tanpa jeda dan tak berhenti-henti. Sehingga hewan-hewan lain mulai menghindari kura-kura karena tahu mereka akan mati kutu jika kura-kura mulai berbicara pada mereka. Si kura-kura bawel menjadi kesepian karenanya.
Setiap musim panas, sepasang angsa putih datang ke danau di pegunungan untuk berlibur. Mereka baik hati karena membiarkan si kura-kura berbicara sepanjang yang dia mau. mereka tidak pernah protes ataupun meninggalkan kura-kura. Si kura-kura jadi merasa senang pada sepasang angsa itu.
Ketika musim panas mulai berakhir dan hari-hari menjadi dingin, sepasang angsa bersiap-siap pergi dari danau itu. Si kura-kura mulai menangis. Dia benci musim dingin dan kesepian. “Andai saja aku bisa ikut pergi bersama kalian,” desahnya. “Kadang, ketika salju menutupi lereng dan danau, aku membeku, aku merasa begitu kedinginan dan kesepian.”
Sepasang angsa itu merasa kasihan pada si kura-kura, karena itu mereka mengajukan sebuah penawaran untuknya, “Kura-kura, kamu jangan menangis. Kami dapat membawamu asalkan kamu bersedia memegang satu janji.”
“Ya! Ya! Saya janji!”  si kura-kura bawel segera menjawabnya, bahkan sebelum sepasang angsa mengatakan janji apa yang harus dia penuhi. “Kura-kura selalu menepati janji. Pernah, aku berjanji pada kelinci untuk berdiam diri sebentar saja setelah aku memberi tahu tentang semua perbedaan cangkang kura-kura dan…………………………” Kura-kura itu bercerita lagi panjang lebar, tanpa ada yang bertanya, dan tak berhenti-henti.
Satu jam kemudian,
Ketika si kura-kura berhenti bicara, sepasang angsa melanjutkan kata-kata mereka, “Kura-kura, kamu harus berjanji untuk tetap menutup mulutmu! ”

“Gampang!” kata si kura-kura bawel. “Sebenarnya bangsa kura-kura terkenal sanggup menutup mulut kami dengan baik. Kami sebenarnya jarang sekali berbicara. Saya pernah menjelaskan hal ini kepada seekor ikan belum lama ini……………….” Si kura-kura bawel itu mulai bercerita panjang lebar lagi.
Satu jam kemudian ketika si kura-kura bawel diam sejenak, sepasang angsa itu menyuruh si kura-kura untuk menggigit bagian tengah sebuah tongkat kayu yang panjang dan menyuruhnya untuk tetap menutup mulutnya dengan menggigit kayu tersebut.
Lalu salah satu angsa memegang salah satu ujung tongkat dan yang lain memegang tongkat di ujung lainnya. Keduanya lalu mulai mengepakkan sayap dan terbang, pergi dari danau yang sebentar lagi akan membeku menjadi salju.
Inilah pertama kali dalam sejarah dunia kita:  kura-kura terbang!
Lebih tinggi dan lebih tinggi lagi mereka terbang menjulang. Makin lama danau di pegunungan itu makin mengecil. Bahkan gunung yang besar pun terlihat semakin mengecil dari atas langit biru. Si kura-kura yang merasa takjub berusaha mengingat pemandangan itu baik-baik untuk diceritakan pada teman-temannya nanti ketika dia sudah sampai ke tempat tujuan.
Mereka terus terbang dan semuanya berjalan lancar sampai mereka melewati sebuah sekolahan, dimana waktu itu siswa-siswanya baru pulang sekolah. Beberapa anak melihat sepasang angsa dan kura-kura bawel. Lalu seorang anak berteriak, “Hei, lihat! Ada kura-kura bodoh terbang!”
Mendengar itu, kura-kura bawel tidak dapat menahan dirinya. “Apa kau bilang…  booo…doo..hhh???!!! ”
BRAAAKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK!
Terdengar suara keras ketika tubuh kura-kura menghempas tanah. Dan itu adalah suara terakhir yang dapat dia keluarkan.
Si kura-kura bawel tewas karena dia tidak dapat menutup mulutnya pada saat yang benar-benar diperlukan.


Cerita Buddhis"Ehipassiko"

Tripitaka, Kitab Suciku

Sore itu Bodhi pegi ke perpustakaan Vihara. Ia berencana untuk membaca Tripitaka. Saat pak Ananda, petugas perpustakaan, menunjukan Tripitaka padanya, Bodhi pun menjadi terkesima. Bagaimana tidak, yang ia lihat bukanlah hanya sebuah buku tebal seperti yang di bayangkannya. Yang ada di depan matanya adalah sekumpulan buku yang di tata rapi dalam 3 lemari. 
"Woow.... sungguh menakjubkan ! kitab suci Tripitaka terdiri dari begitu banyak buku," Bodhi berdecak kagum. 
"Ya...,Tripitaka memuat ajaran Buddha dengan sangat lengkap," Ucap pak Ananda. 
" Sebanyak itu ..???"  Tanya Boddhi menegaskan. Ia ingin tahu lebuh banyak. 
"Pak,.. Memang apa saja sih isi Tripitaka ini???"

"Tripitaka terdiri dari 3 bagian. Ada bagian yang isinya terutama kotbah dan sabda Buddha Gotama. Ada yang memuat peraturan di sertai lalar belakangnya, trutama berhubungan dengan perilaku para Biksu dan Biksuni. Ada juga bagian yang terutama membahas tentang kesadaran dan corak batin," Jelas pak Ananda.

Boddhi mengambil salah satu buku dari Tripitaka , dan membacanya di perpustakaan. Judul kitab itu Dhammapada. Ia membacanya degan penuh hati Dan saat itu juga ia tau, Ia berkata dalam hati,"Ajaran Buddha sangat indah. Aku tidak akan menyianyiakannya. Aku akan terus belajar agama Buddha dan akan menjalaninya dalam hidupku." 

 

Selasa, 06 Oktober 2015

Lirik lagu Buddhis "Sang Guru" & "Dana Paramita"

Sang Guru

Cpt : Wawan A. & D. Wiriya
3/4 Perlahan




Sejuk Dhamma Mu yang kau berikan

Untuk mencapai bebasnya dukkha

Dhamma Mu yang agung penyejuk jiwa ku

Terima Kasihku padaMu guru 

Ku bersujud padaMu Sang Buddha

Yang T'lah mengorbankan s'galanya untuk kita semua


s'moga jasaMu bermanfaat bagi kita

Tuk akhirnya kelahiran dalam roda dunia samsara

Dana Paramita 


Lagu & Syair : Upa Dirsan W.

¾ SEDANG



Marilah kita berdana

 untuk kepentingan Dhamma 

S'moga kita di berkahi oleh Buddha maha suci 

berdanalah kita semua

 dengan  hati ikhlas rela

S'moga karma baik kita dirahmati Sang Tri Ratna